Kamis, 23 Oktober 2008

KDRT Polisi

Ayunan Tangan Besi Polisi Untuk Sang Pendamping

Jakarta - Selayaknya, polisi menjadi penegak hukum. Namun apa jadinya jika para penegak hukum ini justru menjadi pelaku kejahatan? Bahkan di lingkungan terkecil di keluarganya.
Seperti yang terjadi beberapa hari lalu. Seorang polisi berpangkat perwira dilaporkan istrinya ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya karena tindak kekerasan yang dilakukannya di tempat tinggalnya yang berlokasi di Jl. Ayub Gg. B RT.011/01 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan. Tak tanggung-tanggung, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan polisi berinisial AKP SR ini telah berlangsung selama 20 tahun usia pernikahannya. Tak hanya sang istri yang berinisial Dra.R.I, bahkan putrinya, MR pun turut menjadi korban olehnya.
Peristiwa serupa terjadi Agustus lalu. MA(28, seorang penyanyi dangdut yang pernah menjadi duta narkoba, juga menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, Ajun Inspektur Dua (Aipda) berinisial WTA. Penganiayaan yang diterimanya itu sendiri berpangkal dari permintaan MA atas stastus hubungan mereka. Awalnya, Jumat (22/10) siang, MA mendatangi Polda Metro Jaya, tempat dimana sang suami bertugas. Karena sang suami tak juga mau menemuinya, MA pun membawa pulang mobil yang dikendarai suaminya. Dua hari kemudian MA yang kesal karena tak mendapat respon, kembali mendatangi WTA di kediamannya di bilangan Joglo, Jakarta Barat. Namun bukan sambutan hangat yang diterimanya. Alih-alih, sang suami bersama istri pertamanya yang merasa kesal malah memukuli MA yang telah berhasil masuk dengan cara memanjat pagar dan mendobrak rumah. Walhasil MA pun mengalami luka memar di kepala, tangan dan kakinya.
Masih ada pula kisah tentang penganiayaan yang dilakukan oleh seorang anggota Brimob Polda Metro Jaya berinisial Bripda JS yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena tindakannya yang kerap menyiksa istrinya, RH (37). Selain penganiayaan fisik yang dimulai sejak pernikahan mereka di tahun 200 silam, JS juga sering mengancam istrinya dengan sebilah pisau. Atas tindakannya itu, JS akhirnya berurusan dengan Provost Polda Metro Jaya.

Stress Kerja Dibawa Pulang

Menanggapi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan aparat kepolisian, Kriminoloh UI, Adrianus Meilala mengatakan hal tersebut tidaklah mengherankan. Menurutnya, keluarga aparat penegak hukum memang kerap dekat dengan kekerasan. Hal tersebut dikarenakan pengaruh pekerjaan yang bernuansa fisik. Pengaruh itu sendiri menurutnya tak hanya berpengaruh pada pasangan hidupnya, namun juga pada keturunannya. "Di mana-mana jarang anak keluarga polisi yang bahagia. Itu terkait dengan cara kerja polisi, dalam hal ini waktu bisa 24 jam. Pekerjaan buat anggota polisi merupakan istri pertama," tukas Adrianus. "Budaya polisi sendiri yang mengidap kecurigaan. tidak mudah percaya. ujung-ujungnya penuh dengan konflik yang akhirnya bermuara pada benturan benturan fisik," ujarnya.
Selain pekerjaan, faktor lain yang berpengaruh adalah status. "Pada dasarnya pria lebih tinggi dari segi status. Sifat pria akan lebih sensitif saat hal itu tidak terjadi. Diakui atau tidak, menurut Adrianus sampat saat ini masih banyak polisi yang mencari pendamping dari kalangan keluarga berada, misalnya mereka yang berprofesi sebagai dokter ataupun pengusaha sehingga kehidupan keluarga mereka akan lebih terjamin. "Pada waktu usia pernikahan masih muda, kondisi itu akan terlihat saling menopang, Tapi saat pernikahan telah menapak jenjang lebih dewasa, sang istri akan mulai terasa dieksploitasi atau dimanfaatkan," jelasnya.
Senada dengan Adrianus, kriminolog UI lainnya, Erlangga Masdiana membenarkan bahwa tingkat emosional petugas kepolisian memang lebih tinggi dibanding mereka yang mempunyai profesi lain. "Penegak hukum kita cenderung melakukan tindakan kekerasan karena faktor stress terhadap pekerjaannya. Kondisi itu berimbas ke kehidupan rumah tangganya di mana tekanan di kantor terbawa ke dalam rumah," kata Erlangga. "Tingkat rumah tangga di aparat penegak hukum umumnya bisa dibilang kurang harmonis. Berdasarkan riset, aparat penegak hukum yang bekerja di dalam kantor cenderung lebih humanis. Kurang harmonisnya kehidupan rumah tangga bisa disebabkan karena waktu bertemu yang minim. Ditambah lagi unsur keuangan anggota kepolisian yang mendapatkan gaji rendah," imbuhnya.
Erlangga meyakinkan, guna mencegah terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga yuang dilakukan anggota kepolisian, bisa dilakukan dengan beberapa cara. Solusi untuk jangka panjang diantaranya dengan memikirkan tingkiat kesejahteraan yang layak. Sementara untuk jangka pendek, bisa dilakukan dengan rotasi. “Polisi juga harus diajak lebih relax. Beban pekerjaan harus lebih dikurangi,” sahut Erlangga.
Masih terkait dengan alternatif pemecahan masalah KDRT yang dilakukan polisi, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Condro Kirono mengatakan salah satunya bisa dilakukan dengan cara tes psikologi. Menurutnya dengan cara itu, bisa diketahui karakter, prilaku dan kepribadian yang akan mempengaruhi tingkah laku anggota kepolisian bersangkutan. "Kalau dia arogan pasti akan ketahuan melalui tes psikologi. Ditegaskannya, seorang polisi sepatutnya mempunyai tingkat emosi yang stabil, ramah dan sopan. (Bachtiar)

Tidak ada komentar: