Mutilasi, Unjuk Gigi Atau Hasil Pembelajaran?
Senin (29/9), sore, tepat dua hari menjelang hari raya Idul Fitri, 13 potongan tubuh ditemukan dalam dua bungkusan plastik merah di dalam bus Mayasari Bakti P64 jurusan Pulogadung-Kalideres di Jl Raya Bekasi kilometer 18, Cakung, Jakarta Timur. Yang lebih menakutkan, dalam bungkusan tersebut tak ditemukan kepala, jari tangan, dubur dan organ tubuh korban. Walhasil, polisi kesulitan untuk mengetahui identitas korban. hanya satu petunjuk kuat yang dimiliki polisi, yaitu sebuah tato kepala macan yang tergambar di lengan kanan korban.
Potongan jenazah korban mutilasi pertama kali diketahui oleh Ayung Bulkini Sidik yang tak lain adalah sang kondektur bus Mayasari Bakti P64. Kepada petugas Polsek Pulogadung yang menangani kasus ini, Ayung mengaku terakhir kali mengingat penumpang yang duduk di bangku tempat ditemukannya korban adalah seorang wanita. Polisi pun kemudian memfokuskan penyelidikan kepada identitas dan keberadaan wanita pembawa kedua plastik merah itu. Namun hingga kini, belum ditemukan hasil positif. Hal serupa juga terjadi pada pengungkapan identitas korban. Awalnya, ada dua keluarga yang melapor ke Polsek Pulogadung dan Poldab Metro Jaya yang mengaku kehilangannya anggota keluarganya. Berdasarkan tato macan, salah satu keluarga asal Bekasi menduga korban kemungkinan adalah Hasan Basri (36). Namun berdasarkan hasil otopsi dari tim forensic RSCM, ciri-ciri fisik korban ternyata berbeda dengan Hasan Basri. Penyelidikan pihak kepolisian terhadap identitas korban pun kembali buram.
Peran Mafia Atau Kesalahan Media?
Berbagai pendapat mencuat tentang para pelaku mutilasi. Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Ronny Rahman Nitibaskara kepada wartawan, Jumat (10/10) petang, mengatakan para pelaku bisa saja merupakan anggota kelompok kejahatan teroganisir yang ingin menunjukkan kekuatan dan peringatan kepada pesaing ataupun anggotaya. "Contohnya, mutilasi dilakukan untuk memberikan semacam teguran kepada anggota yang berkhianat atau kepada lawan," ujarnya.
Berbeda dengan Rony, Erlangga Masdiana, kriminolog Universitas Indonesia (UI) lainnya meyakini bahwa kasus mutilasi yang terjadi di Indonesia belumlah sampai pada tahapan kelompok mafia. Menurutnya, sejauh ini mutilasi yang terjadi masih berbasis pada kasuistik belaka. Mutilasi dianggap sebagai cara untuk bisa membunuh tanpa diketahui pihak kepolisian. Kalaupun berhasil teridentifikasi, akan memerlukan waktu yang lama,” jelasnya saat dihubungi SH Senin (13/10) pagi.
Lebih jauh Erlangga mengatakan, maraknya kasus mutilasi yang pertama kali muncul di
Sementara itu, berdasarkan data di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, kasus mutilasi Cakung adalah kasus ke delapan sejak awal 2007 lalu. Ironisnya, dari delapan kasus tersebut, hanya dua kasus saja yang berhasil terselesaikan. Hal tersebut dikarenakan sulitnya pihak kepolisian mengetahui identitas para korban mutilasi. Fakta lainnya, peristiwa mutilasi umumnya terjadi di kawasan Timur
Terkait sulitnya pengungkapan kasus mutilasi, Erlangga menyebutkan hal tersebut dikarenakan kurangnya bukti-bukti yang mengarah ke pelaku karena hilangnya identitas korban. “Saat korban berhasil teridentifikasi pun, polisi masih harus mencari relevansi dengan kasus lain,” imbuhnya. Erlangga menambahkan hingga kini pihak kepolisian belum mempunyai sistem deteksi dari identitas warga Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar